Wednesday, 9 July 2014

Resensi Buku "Student Hijo"






Judul : Student Hijo
Penulis : Marco Kartodikromo
Genre : Fiksi, Novel
Penerbit : Yayasan Aksara Indonesia
Cetakan : Cetakan pertama, Februari 2000
Halaman : 212 halaman


            Dari sampulnya buku ini sungguh menarik, sangat terasa nuansa masa kolonialnya. Buku ini merupakan buku yang tergolong langka. Buku ini juga telah beberapa kali diterbitkan, kebetulan Saya membaca yang edisi lama. Secara fisik, buku yang Saya baca masih bagus untuk ukuran buku lama, hanya di pinggir buku sudah agak kotor. Bahasa di novel ini masih menggunakan bahasa jaman dulu, tapi masih bisa dengan mudah dipahami. Penulis buku ini adalah Marco Kartodikromo atau biasa disebut dengan Mas Marco, beliau memang senior dalam hal menulis pada zamannya. Seperti yang tertulis pada halaman awal, cerita dalam buku ini pertama kali diterbitkan sebagai cerita bersambung di Surat Kabar Hindia pada tahun 1918, dan terbit sebagai buku pertama kali oleh N. V. Boekhandel en Drukken, MASMAN &STROINK, Semarang, 1919. Dengan kata lain, cerita ini dibuat sudah lama sekali, kemudian diterbitkan sebagai buku dalam versi modern pada tahun 2000.
            Novel ini menceritakan seorang pelajar yang baru saja lulus sekolah setingkat SMA saat ini bernama Hijo yang disarankan (disuruh) oleh orang tuanya untuk melanjutkan kuliah insinyur di Belanda. Pada zaman dulu memang kedudukan seseorang akan terangkat jika mendapatkan pendidikan yang tinggi, terutaman jika bersekolah di Belanda. Ayah Hijo sangat menginginkan Hijo agar bersekolah di Belanda, sedangkan ibunya tidak menginginkan Hijo sekolah di Belanda karena dia takut Hijo akan terbawa arus pergaulan pemuda Belanda yang negatif. Ibunya juga takut jika Hijo nantinya akan “kepincut” dengan perempuan Belanda, sedangkan dirinya sendiri sebenarnya telah dijodohkan dengan seoarang gadis yang masih saudaranya sendiri yang bernama Biru.
            Hijo akhirnya berangkat ke Belanda, di Belanda dia ditempatkan di sebuah rumah milik keluarga yang mempunyai anak perempuan. Betje, salah satu anak perempuan dari keluarga itu kepincut dengan Hijo, akhirnya mereka menjalin hubungan meskipun tadinya Hijo tidak pernah menghiraukannya karena sifat Hijo yang serius dan tidak pernah melakukan perbuatan yang sia-sia. Di Jawa, Biru (tunangan Hijo) bertemu dengan Wungu yang juga sebenarnya menaruh perhatian pada Hijo, Wungu mempunyai kakak laki-laki bernama mas Yo. Keluarga Wungu sangat baik hati terhadap keluarga Hijo dan Biru sehingga pada akhirnya ibu Hijo sangat bersimpati pada Wungu dan memutuskan untuk menjodohkan Hijo dengan Wungu dan Biru dengan Mas Yo. Ayah Hijo pun setuju dan meminta Hijo pulang ke Jawa untuk dinikahkan dengan Wungu. Hijo yang sebenarnya sangat galau dengan keadaan di Belanda sangat senang karena dia dijodohkan dengan Wungu, perempuan yang ternyata selama ini dicintainya. Hijo akhirnya memutuskan hubungannya dengan Betje.
            Untuk novel yang mempunyai banyak konflik di dalamnya, isi cerita novel ini cukup singkat. Pada awal bab diceritakan betapa saling mencintainya Hijo dan Biru, mereka pun sangat sedih ketika harus berpisah saat Hijo akan kuliah di Belanda, namun di akhir cerita dengan mudahnya Biru jatuh cinta pada kakak Wungu, Mas Yo. Dan mudahnya Hijo menerima perjodohannya dengan Wungu yang ternyata adalah perempuan yang selama ini dicintainya. Jadi selama ini dia tidak mencintai Biru.
            Sebenarnya sangat banyak pergolakan batin dan konflik yang terjadi pada mahasiswa Jawa yang bersekolah di Belanda saat itu. Gaya hidup muda-mudi jaman kolonial itu juga sangat tergambar sehingga kita bisa membayangkan bagaimana kehidupan mereka saat zaman penjajahan.
Namun, untuk permasalahan dalam dunia pendidikan sendiri kurang ditekankan, yang diceritakan lebih ke konflik dalam kehidupan sehari-hari dan percintaan. Gaya hidup yang glamour dan mewah sangat menonjol pada cerita ini. Karena Hijo sendiri berasal dari kalangan priyayi yang mampu.
Jika kita ingin mencari tahu bagaimana kehidupan pelajar dari Jawa yang belajar di negeri Belanda, dengan hanya membaca buku ini saja belum cukup karena buku ini kurang menceritakan detail bagaimana kehidupan pelajar Jawa yang belajar ke negeri Belanda. Ending dari buku ini juga sangat tidak terduga, berbeda dari yang saya bayangkan ketika pertama membaca bagian awal dari buku ini.
Buku yang menjadi salah satu pelopor non fiksi ini seharusnya banyak dibaca oleh generasi muda, namun sayang sepertinya buku ini tidak populer di telinga generasi muda saat ini, mungkin karena mereka membayangkan akan membaca buku "jadul" dengan kalimat yang susah untuk dimengerti ketika melihat buku berjudul "Student Hijo" ini, padahal sebenarnya kalimatnya mudah untuk dicerna, ceritanyapun masih menarik untuk dibaca pada zaman sekarang.

No comments:

Post a Comment