Thursday, 10 July 2014

Resensi Buku "Gadis Pantai"




Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Genre : Roman
Cetakan : 7, September 2011
Halaman : 272 halaman

     Gadis pantai adalah seorang gadis biasa yang tinggal di daerah kampung nelayan Karesidenan Jepara Rembang. Gadis ini adalah seorang "kembang" di desanya. Suatu hari, Gadis Pantai diharuskan menikah dengan Bendoro, meskipun hatinya menolak karena takut, orang tuanyapun sebenarnya kasihan kepadanya, namun mereka tidak bisa menolak keharusan ini. Gadis pantai akhirnya "diboyong" ke rumah Bendoro yang mewah dan harus meninggalkan kedua orang tuanya. Gadis Pantai selalu merasa kesepian, namun untungnya selalu ada bujang wanita yang menemaninya, mendongenginya dan siap melayaninya. Gadis Pantai yang selanjutnya dipanggil dengan "Mas Nganten" ini dijadikan istri yang tidak resmi oleh Bendoro, ini hanyalah pernikahan latihan sebelum Bendoro menikah "yang sebenarnya" dengan perempuan yang sederajat dengannya.
     Bendoro tidak setiap hari bersama dengan Gadis Pantai, dia sering bepergian dan Gadis Pantai tak perlu mengetahui kemana saja "suaminya" itu pergi. Setiap hari dia selalu kebosanan, lalu diapun mengisi waktunya untuk belajar berbagai macam hal. Dari bujang wanitanya pula ia belajar mengenai kehidupan.
     Gadis Pantai menjadi istri yang penurut ketika "suaminya" kembali ke rumah, dia tak perlu bertanya macam-macam kepada Bendoro. Gadis Pantai selalu menjaga sikapnya, hingga akhirnya Mas Nganten mengandung anak Bendoro. Dia tahu, sesudah kelahiran anaknya ini pastilah dia akan dibuang dan Bendoro akan segera melangsungkan pernikahan "sejatinya". Tapi Gadis Pantai terus berharap agar dia bisa bersama anaknya kelak. Cobaan-cobaan yang Gadis Pantai alami di rumah Bendoro dan kerinduannya terhadap orang tua dan kampung halamannya membuat Gadis Pantai ingin menjenguk kampung halamannya. Suatu saat, Gadis Pantai bisa pulang ke kampung halamnnya dengan membawa barang-barang untuk orang tuanya, orang-orang mengagumi Gadis Pantai yang telah menjadi Mas Nganten itu.
     Saat tiba waktunya Gadis Pantai melahirkan, ternyata anak yang dikandungnya adalah perempuan. Apakah Bendoro tetap akan mengambil anaknya karena bayi yang dia lahirkan adalah perempuan, bukan laki-laki. Timbul niatnya untuk mempertahankan anaknya yang baru lahir itu. Namun, apa daya ternyata Bendoro tetap mengambil anaknya, Gadis Pantai yang sudah tidak diperlukan harus keluar dari rumah Bendoro. Gadis pantai meraung-raung meminta anaknya dikembalikan, namun itu percuma saja. Gadis Pantai tidak bisa kembali ke desanya, pun untuk tetap tinggal di rumah Bendoro sudah tidak bisa lagi. Beberapa bulan selanjutnya, Gadis Pantai hanya bisa mengintip di balik dokar yang berhenti di depan rumah Bendoro.


     Seperti "buku bagus" yang lainnya, buku ini pun telah diterbitkan beberapa kali dengan sampul yang berbeda, dan Saya berkesempatan untuk membaca buku ini yang diterbitkan oleh penerbit Lentera Dipantara. Gambar pada sampul buku ini menurut saya sangat bagus, ada gambar seorang gadis berwajah Jawa yang sedang duduk, di belakangnya nampak "priyayi" Jawa beserta ajudannya. Sangat menggambarkan isi cerita yang ada dalam buku ini. Membaca roman yang ditulis oleh Pram ini membuat perasaan menjadi sesak, terutama ketika pada bagian akhir saat Gadis Pantai dipisahkan oleh bayinya yang belum lama lahir. Juga ketika membaca keseluruhan buku ini, akan kita temukan betapa menderitanya batin Gadis Pantai. Meskipun dia adalah istri yang penurut, namun ada kalanya dia menemukan perang batin dalam dirinya, yaitu ketika dia jatuh hati pada tamu Bendoro yang sempat makandi ruang tamu di rumah Bendoro. Antara perasaan berdosa, ragu-ragu, namun dia akhirnya menikmati perasaannya itu ketika dia dapat duduk di kursi bekas tamu Bendoro duduk beberapa saat yang lalu sebelum Gadis Pantai duduk di kursi itu.
     Pramoedya Ananta Toer menceritakan feodalisme yang berujuang pada kesewenang-wenangan dan tindakan tidak berperikemanusiaan. Bendoro yang seorang priyayi berlaku sewenang-wenang terhadap Gadis Pantai yang hanya rakyat jelata, dia tega memisahkan Gadis Pantai dengan anak yang baru dilahirkannya. Kritik Pram sangat kentara dalam roman ini. Akibat sistem yang menyengsarakan rakyat jelata, banyak rakyat yang akhirnya terpaksa tunduk dan tidak bisa melawan seperti ketika orang tua Gadis Pantai sebenarnya tidak tega ketika anaknya ketakutan dan tidak mau ditinggal oleh kedua orang tuanya saat diharuskan "boyong" ke rumah Bendoro, kedua orang tua itu tidak mampu melawan kuasa Bendoro, akhirnya mereka merelakan anak gadisnya untuk tinggal di rumah Bendoro.
     Pram mengkisahkan dengan baik derita Gadis Pantai dan kesewenang-wenangan Bendoro beserta priyayi lain di sekitar Bendoro. Bacalah buku ini, dan kita akan terharu atas kehidupan si Gadis Pantai.

2 comments:

  1. Pram emang paling mantap soal anti-feodalisme.. :)

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete