Kali ini saya senang dan merasa ada nuansa yang berbeda karena bisa membaca dan meresensi buku yang baru terbit (tahun 2018) dan terkenal (tentu saja karena buku ini mengalami tiga kali cetak dalam jangka waktu hanya tiga bulan sejak diterbitkan pertama kali untuk versi Bahasa Indonesia saja, versi Bahasa Inggris belum dihitung). Selain itu, buku ini juga sudah nampak berseliweran di mana-mana, maksut saya di beberapa foto atau postingan tokoh publik, hehe. Mark Manson sekarang juga menjadi lebih terkenal dan quotesnya sudah banyak didengar oleh publik. Di sini saya berkesempatan untuk membaca versi Bahasa Indonesianya. Judul asli buku ini adalah ‘The Art of Not Giving a F*ck’, betul ada sensor di kata terakhir, bukan semata-mata saya yang memberi sensor agar terlihat sebagai orang baik-baik :p.
Sampul buku ini masih sama, berwarna
oranye, bahkan jenis huruf yang dipilih juga masih sama dengan versi aslinya. Yang
berbeda adalah judul kemudian dialih bahasakan menjadi Bahasa Indonesia, sehingga
jika dilihat sekilas buku ini hanya ada satu versi saja. Diterbitkan oleh
penerbit Grasindo yang masih di bawah Kompas Gramedia, dan tebalnya hanya 243
halaman. Cukup ringkas bagi yang tidak suka membaca buku namun mulai tertarik
dengan buku ini karena tidak terlalu tebal ,jadi tidak membuat malas di awal
untuk membaca. Tapi yang membuat saya cukup kaget karena tidak ada ilustrasi
sama sekali di dalam buku ini, bahkan sekedar warna yang berbeda, misalnya
warna kuning atau oranye pada halaman yang berisi sebuah quote juga tidak ada. Mungkin karena Penerbit Grasindo ingin
mempertahankan versi asli dari buku The Art of Not Giving a F*ck, dan di buku
asli mungkin memang tidak ada ilustrasi atau desain warna sama sekali. Bukannya
karena saya suka buku bergambar, saya sendiri tidak begitu memperhatikan gambar ilustrasi dalam sebuah buku, tapi biasanya buku self improvement seperti ini akan lebih memberikan tampilan atraktif di dalamnya untuk
memberikan kesan semangat bagi pembaca.
Sebelum ini kalau saya membaca buku
nonfiksi semacam self help pasti akan
memakan waktu lama karena sudah bosan duluan, tapi kali ini cukup dua hari
untuk menyelesaikan buku ‘Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat’ ini. Meskipun
tetap ada beberapa bagian yang membuat dahi mengernyit karena saya harus
berpikir keras dulu untuk mencerna maksut Mark Manson, tapi selebihnya isi buku ini
bisa diikuti alurnya. Ini karena Manson menggunakan banyak cerita ilustrasi
yang tidak diduga-duga sebagai contoh dari setiap penjelasan. Mulai dari cerita
tentang kehidupan sehari, cerita The Beatles hingga cerita seseorang yang
menggemparkan dunia antropologi. Selain memudahkan pembaca untuk mencerna,
cerita-cerita itu membuat pengetahuan (setidaknya saya) menjadi semakin
bertambah. Dengan adanya cerita ilustrasi juga membuat gaya penulisan Manson dalam
buku ini cenderung seperti novel sehingga mudah untuk dinikmati.
Maksut dari ‘masa bodoh’ di buku ini
bukan berarti kita menjadi orang yang super cuek terhadap apapun. Jika membaca
sekilas judulnya, tentu kita akan berpikiran ke situ. Tapi, sebenarnya ada banyak
‘masa bodoh’ yang dibahas Manson, misalnya dari sisi ketika kita ingin memulai
sesuatu. Menjadi masa bodoh membuat kita mengesampingkan ketakutan-ketakutan
yang muncul dari dalam diri, masa bodoh membuat kita terus melangkah maju
meskipun sebelumnya kita sering merasa takut.
Hal yang menarik lainnya dari
penjelasan Manson juga ketika dia menjungkirbalikkan penjelasan yang ada pada
buku motivasi mainstream di mana ketika motivasi-motivasi mengatakan kalau kita
istimewa dan harus sukses. Manson justru sebalikanya, dia mengatakan jika kita
harus siap menerima bahwa kita memang memiliki kekurangan. Merasa bahwa diri
kita istimewa hanya akan membuat kita berhenti untuk belajar. Setiap kegagalan
dan hal buruk sebenarnya bukan untuk dihindari tapi harus kita terima dan kita
hadapi. Misalnya ketika kita sedang merasa sakit hati, melakukan pelarian
dengan cara makan yang banyak atau berhura-hura agar kita melupakan sakit hati
itu sebenarnya tidak akan membantu apa-apa. Yang harus kita lakukan adalah
menerima bahwa kita memang sedang sakit hati dan berusaha mencari solusi untuk
hal itu. Pelarian-pelarian yang dikatakan Manson itu sifatnya hanya sementara
dan akan membuat kita pada kondisi semula ketika kita sudah selesai
melakukannya.
Banyak nasihat-nasihat yang
diberikan Manson di sini, tapi pada intinya Manson memainkan dua kata kunci ini
: Masalah dan Penderitaan. Manson berusaha menampilkan dua kata yang sering
ditakuti oleh kebanyakan orang ini
menjadi sesuatu yang bisa diterima dan bagaimana mengelola hal-hal itu
demi kebaikan hidup manusia. Di akhir buku, Manson cenderung memberi nasihat
dengan kalimat seolah dia adalah seorang tua yang bijak dan sedang menasihati
anak-anak muda yang sangat membutuhkan bimbingan. Kekurangan dari tulisan Manson
ini, dia cenderung menutup ruang bagi pembaca untuk menafsirkan sendiri
bagaimana mereka harus mengelola diri dalam menghadapi masalah. Bagi sebagian
orang, prinsip Manson yang ditulis di akhir buku mungkin tidak cocok atau tidak
sesuai dengan nilai-nilai yang mereka pegang, dan itu tidak mengapa karena
setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih nilai-nilai mereka tanpa harus
terikat pada teori di buku motivasi. Namun, sebagai buku self help, saya sangat menyukai buku ini. Mungkin saya akan membaca
lagi, dan lagi supaya lebih memahami dan bisa menerapkan nasihat-nasihat Manson
yang sesuai dengan diri saya.
buku yang bagus buat dikoleksi..thanks
ReplyDeleteyou're welcome...
Delete