Film
Hollywood, meskipun merupakan film animasi, namun seperti biasa dapat dinikmati
oleh berbagai kalangan dengan cerita yang pas, tidak dianggap sebagai cerita
yang terlalu ringan untuk orang dewasa, namun juga tidak terlalu berat untuk
dikonsumsi anak-anak. Hotel Transylvania, seperti seri sebelumnya menyuguhkan
cerita tentang monster-monster di mana Dracula sebagai pemimpinnya difokuskan
dalam kehidupan sehari-hari mereka ketika menjalankan bisnis hotel yang dinamai
Hotel Transylvania.
Interaksi dengan manusia juga dimasukkan dalam cerita, baik sebagai musuh maupun sebagai makhluk yang akhirnya bisa bersatu dengan para monster itu. Kali ini, tema khususnya adalah liburan para monster yang ditujukan sebagai kejutan bagi Dracula, oleh sang anak yaitu Mavis. Di awal cerita sudah ada gambaran hubungan keluarga yang harmonis ketika Mavis begitu memikirkan keluarga (yaitu semua monster yang terkait dengan Hotel Transylvania) dan tentu saja ayahnya, si Dracula. Meskipun Dracula tidak suka dengan kejutan dan tidak setuju dengan ide Mavis mengajak seluruh keluarga Hotel Transylvania berlibur mewah di sebuah kapal, namun Dracula tidak tega melihat kesungguhan rencana Mavis dan akhirnya dengan terpaksa mengikuti liburan itu. Yang ironik adalah ketika para monster itu yang sehari-hari bekerja di sebuah hotel harus berpindah ke hotel lain (kapal pesiar) untuk bisa mendapatkan makna liburan yang sebenarnya. Liburan menjadi suatu imaji yang lekat dengan istilah ‘jauh’ dari rumah. Banyak orang yang menganggap pergi ke tempat wisata bukanlah suatu liburan jika tempat tersebut masih terhitung dekat dengan rumah, termasuk para monster ini.
Interaksi dengan manusia juga dimasukkan dalam cerita, baik sebagai musuh maupun sebagai makhluk yang akhirnya bisa bersatu dengan para monster itu. Kali ini, tema khususnya adalah liburan para monster yang ditujukan sebagai kejutan bagi Dracula, oleh sang anak yaitu Mavis. Di awal cerita sudah ada gambaran hubungan keluarga yang harmonis ketika Mavis begitu memikirkan keluarga (yaitu semua monster yang terkait dengan Hotel Transylvania) dan tentu saja ayahnya, si Dracula. Meskipun Dracula tidak suka dengan kejutan dan tidak setuju dengan ide Mavis mengajak seluruh keluarga Hotel Transylvania berlibur mewah di sebuah kapal, namun Dracula tidak tega melihat kesungguhan rencana Mavis dan akhirnya dengan terpaksa mengikuti liburan itu. Yang ironik adalah ketika para monster itu yang sehari-hari bekerja di sebuah hotel harus berpindah ke hotel lain (kapal pesiar) untuk bisa mendapatkan makna liburan yang sebenarnya. Liburan menjadi suatu imaji yang lekat dengan istilah ‘jauh’ dari rumah. Banyak orang yang menganggap pergi ke tempat wisata bukanlah suatu liburan jika tempat tersebut masih terhitung dekat dengan rumah, termasuk para monster ini.
Kapal pesiar yang digunakan Dracula,
Mavis dan keluarga Hotel Transylvania sangat mewah. Di film ini kita akan
disuguhi gambaran kemewahan liburan ‘yang seharusnya’ dan sekaligus otomatis
akan membawa anggapan bahwa liburan orang awam saat ini masih terhitung sangat
jauh dari mewah. Masalah muncul ketika kapten kapal bernama Ericka Van Helsing
berencana membunuh Dracula, rencana yang sudah selalu gagal dilakukan sedari kakek
buyutnya, Abraham Van Helsing. Konflik terjadi ketika Dracula menemukan (?)
Zing (bahasa para monster untuk menyebut cinta pada pandangan pertama) pada
Ericka. Usaha Ericka untuk membunuh Dracula harus berbenturan dengan sikap
Dracula yang tiba-tiba berubah sangat nyentrik di hadapan Ericka. Pada bagian
ini, penonton diajak untuk tertawa melihat bagaimana visualisasi seorang pria
dewasa yang sedang jatuh cinta meskipun terkurung dalam rasa tidak percaya
diri.
Yang menarik pada konflik di film
ini adalah digunakannya musik-musik latar dengan totalitas. Soundtrack tidak hanya sebagai pengiring
untuk mendapatkan kesan dramatis pada scene
konflik, namun musik diceritakan sebagai senjata yang digunakan oleh kedua
belah pihak untuk bertarung. Selain musiknya yang asik dan kekinian, ternyata
ada sebuah konstruksi yang diciptakan lewat ‘musik sebagai senjata’ ini.
Abraham Van Helsing sebagai tokoh antagonis menggunakan musik yang keras dengan
beat yang cenderung lebih cepat untuk
membunuh satu persatu anggota Hotel Transylvania. Sedangkan suami Mavis mencoba
melawan Van Helsing dengan musik yang menggunakan tempo lebih bersahabat yang
dalam keseharian sering disebut dengan ‘musik baik-baik’. Musik yang lebih
menghentak digambarkan sebagai musik jahat yang bisa ‘membunuh’ sedangkan musik
dengan warna yang cenderung pop dianggap bisa menenangkan kemarahan sehingga
mengalahkan kejahatan. Dalam masyarakat umum, musik yang ‘keras’ memang sering
diidentikkan dengan sikap pendengarnya yang ugal-ugalan atau ‘semrawut’
sedangkan musik dengan ritme yang lebih pelan dianggap sebagai musik ‘berkelas’
di mana pendengarnya dianggap lebih bijak karena musik bisa mempengaruhi mood seseorang.
Meskipun saya agak risih dengan
dikotomi musik yang digunakan oleh kedua belah pihak sebagai senjata (dan hal
itu sebenarnya tidak penting), namun secara keseluruhan film ini sangat lucu,
dan entah kenapa mengharukan. Hubungan keluarga yang menyentuh hati penonton
tidak harus digambarkan dengan cerita yang mengharu biru, namun juga bisa
muncul dari kisah para monster yang kocak ini.
No comments:
Post a Comment