Thursday, 20 September 2018

Review Film Crazy Rich Asians : Kontestasi Kaum Borjuasi Asia dalam Memperebutkan Kuasa Dunia Percintaan

sumber : google
  

Saat membaca buku Crazy Rich Asians, yang saya dapatkan adalah perilaku-perilaku ‘mustahil’ dari para tokoh sebagai orang kaya raya di Asia. Terlihat mustahil karena saya memang jarang (belum pernah) menjumpai yang seperti itu. Kegilaan demi kegilaan diceritakan oleh penulis guna membuktikan bahwa orang kaya di Asia memang berperilaku ‘gila’, namun juga disusul dengan penggambaran sifat-sifat yang paradoks seperti ‘terlalu pelit’ untuk mengeluarkan uang. Hal yang mungkin akan jarang dijumpai pada kaum kaya raya di Barat sana. Yang saya suka dari novelnya adalah detail penceritaan dari penulis yang mampu menyajikan (seolah-olah) data kekayaan dari para milyarder itu, lengkap dengan merk-merk dan barang-barang mahal yang terdengar sangat rumit, sekaligus silsilah keluarga yang jujur membuat saya bingung ketika membaca novel ini di awal-awal.

        Setelah novel yang menjadi best seller, tentu kurang afdhol jika tidak diikuti dengan alih wahana dalam bentuk film. Nah, film inilah yang akan saya review kali ini, selagi saat ini, filmnya masih tayang di bioskop. Alih wahana memang hal yang rumit, apalagi dalam film. Film terdiri dari multimedia sehingga kita tidak bisa mengkajinya melalui aspek narasi saja, karena ada hal lain yang juga tidak kalah penting : gambar, musik, akting pemeran, dan lain-lain. Sebagai bentuk alih wahana, kita juga tidak bisa mengkritisi film dengan hanya membandingkan ceritanya dengan narasi yang ada di buku saja, karena ini sungguh tidak adil bagi film itu sendiri. Oleh karena itu, saya mencoba untuk tidak membandingkan film ini dengan novelnya (meskipun sangat sulit). Saya juga tidak akan membahas apakah film ini kapitalis oriented, atau apakah film ini bias gender atau tidak. Pokoknya ya review biasa ala penonton film biasa. 

        Oke, jadi menurut Saya film ini sebenarnya tidak begitu berbeda dengan novelnya (lah, ini membandingkan -_-), scene yang menarik menurut saya adalah mulai dari penyebaran gosip yang dilakukan oleh orang Asia di Amerika terhadap orang Asia lainnya (Nick dan Rachel). Ketika Nick sedang bersama Rachel yang tidak lain adalah kekasihnya, gosip itu begitu cepat menyebar hingga beberapa menit kemudian Ibu Nick yang berada di belahan dunia lain langsung mengetahui kejadian itu bahkan sebelum Rachel bangkit dari tempat duduknya. Dari sini kita tahu betapa (ehm) kentalnya budaya gosip di Asia (maaf), tapi itu yang tergambar pada adegan ini. Dengan sinematografi yang keren, adegan gosip yang sedang menyebar itu justru jadi terasa sangat modern karena melalui kecanggihan teknologi saat ini, alih-alih terlihat seperti kegiatan kuno yang hanya dilakukan oleh orang kurang kerjaan saja.

          Selanjutnya yang menarik yaitu ketika Nick, Rachela, Colin, dan Araminta berwisata kuliner di pusat kuliner Singapura. Dari makanan-makanan yang terpampang pada film itu, menandakan betapa Singapura saat ini adalah perpaduan budaya Indonesia, Melayu, dan China. Selain sinematografinya yang atraktif, kuliner tersebut terasa sangat menarik. Selain itu, anggapan bahwa makan bersama adalah cara yang mudah untuk mengakrabkan terutama orang-orang yang baru pertama bertemu bisa terbukti di sini. Rachel yang datang dari golongan yang ‘berbeda’ dari Araminta dan Colin bisa langsung berbaur dengan mereka saat menikmati kuliner di tempat yang sangat publik (bukan restoran mewah di mana seharusnya Nick, Araminta, dan Colin biasanya berada).

           Membahas film ini tidak akan ada artinya kalau tidak membahas bagaimana kesenjangan kelas menjadi tema dan konflik utama pada film Crazy Rich Asians. Rachel tentu mengalami beberapa konflik baik dengan Ibu Nick yang tidak setuju dengan hubungan mereka maupun perempuan lain yang menginginkan posisi Rachel saat ini. Konflik dengan perempuan lain yang juga (masih) mengincar Nick menjadi salah satu adegan dramatis yang membuat film ini tidak terasa datar. Adegan apakah itu, silahkan ditonton sendiri, hehe. Proses usaha membuat Rachel putus dengan Nick baik yang dilakukan oleh Ibu Nick maupun yang dilakukan oleh perempuan-perempuan lain pendamba Nick adalah usaha yang hanya dapat dilakukan oleh kaum borjuasi, menyewa detektif dengan harga mahal untuk menemukan ‘aib’ keluarga Rachel misalnya.

        Kemewahan demi kemewahan yang ditampilkan setiap tokoh dalam film Crazy Rich Asians seakan ingin menegaskan bahwa posisi Rachel sangat tidak aman. Perjuangan Rachel dalam menghadapi itu semua tentu menjadi pusat utama dalam cerita ini.

       Favorit hampir semua orang yang sudah menonton film Crazy Rich Asians adalah ketika Araminta dan Colin menikah, saat Araminta ‘walking in the aisle’ yang sangat indah dan diiringi musik yang tepat (serta sangat romantis) membuat penonton fokus pada adegan tersebut. Tapi, bagi saya, adegan romantis ada di sela-sela itu semua, yaitu saat Nick sebagai pendamping pengantin pria dari jauh mengucapkan kata ‘I Love You’ pada Rachel yang sedang duduk di kursi bersama tamu-tamu lainnya. Rachel yang pada saat itu sedang berjuang menghadapi kesinisan Ibu Nick dan harus duduk terpisah dari keluarga Nick menangkap gerak bibir Nick serta membalas ucapan cinta itu dari kejauhan dengan mengucapkan ‘I Love You Too’. Mereka lalu tersenyum bersama, Rachel merasa sangat dikuatkan dengan tindakan kecil yang sebenarnya sangat berarti itu.

          Pesta pernikahan Araminta dan Colin yang sakral kemudian disusul dengan pesta dansa meriah yang kontras. Lalu adegan permainan mahjong yang elegan di mana permainan itu sebenarnya adalah ‘pertarungan’ ideologi antara Ibu Nick dengan Rachel (di sini akting Ibu Nick sangat bagus!) membuat film ini memiliki daya tarik visual. Peran Astrid sebagai perempuan kaya raya nan anggun namun diam-diam tersakiti membuat gambaran bahwa di balik homogennya sikap para anak 'Crazy Rich Asians' masih ada sosok yang 'berbeda' sekaligus membuat emosi ketika menonton film ini menjadi naik turun. Beberapa adegan bahkan lebih masuk akal dibanding dengan yang ada di novel (ini, kenapa masih membandingkan dengan novel terus terusan -_-).

           Bagi sebagian orang yang menganggap film ini lebih mirip dengan cerita ftv, mungkin karena ending yang terlalu berbalik dengan keseluruhan cerita. Nah, jika kita mengesampingkan ending itu, maka kita akan mendapati bagaimana budaya Asia yang terus ingin dipertahankan oleh para generasi lama sekalipun mereka adalah orang kaya raya. Dan tentu saja, kontestasi dengan hal-hal material untuk menentukan kisah cinta masih terjadi sampai sekarang, di era modern ini.

No comments:

Post a Comment