sumber : google |
Saat
membaca buku Crazy Rich Asians, yang saya dapatkan adalah perilaku-perilaku ‘mustahil’
dari para tokoh sebagai orang kaya raya di Asia. Terlihat mustahil karena saya
memang jarang (belum pernah) menjumpai yang seperti itu. Kegilaan demi kegilaan
diceritakan oleh penulis guna membuktikan bahwa orang kaya di Asia memang
berperilaku ‘gila’, namun juga disusul dengan penggambaran sifat-sifat yang
paradoks seperti ‘terlalu pelit’ untuk mengeluarkan uang. Hal yang mungkin akan
jarang dijumpai pada kaum kaya raya di Barat sana. Yang saya suka dari novelnya
adalah detail penceritaan dari penulis yang mampu menyajikan (seolah-olah) data
kekayaan dari para milyarder itu, lengkap dengan merk-merk dan barang-barang
mahal yang terdengar sangat rumit, sekaligus silsilah keluarga yang jujur
membuat saya bingung ketika membaca novel ini di awal-awal.
Setelah novel yang menjadi best seller, tentu kurang afdhol jika
tidak diikuti dengan alih wahana dalam bentuk film. Nah, film inilah yang akan
saya review kali ini, selagi saat
ini, filmnya masih tayang di bioskop. Alih wahana memang hal yang rumit,
apalagi dalam film. Film terdiri dari multimedia sehingga kita tidak bisa
mengkajinya melalui aspek narasi saja, karena ada hal lain yang juga tidak
kalah penting : gambar, musik, akting pemeran, dan lain-lain. Sebagai bentuk
alih wahana, kita juga tidak bisa mengkritisi film dengan hanya membandingkan
ceritanya dengan narasi yang ada di buku saja, karena ini sungguh tidak adil
bagi film itu sendiri. Oleh karena itu, saya mencoba untuk tidak membandingkan
film ini dengan novelnya (meskipun sangat sulit). Saya juga tidak akan membahas
apakah film ini kapitalis oriented, atau apakah film ini bias gender atau
tidak. Pokoknya ya review biasa ala
penonton film biasa.
Oke, jadi menurut Saya film ini
sebenarnya tidak begitu berbeda dengan novelnya (lah, ini membandingkan -_-), scene yang menarik menurut saya adalah
mulai dari penyebaran gosip yang dilakukan oleh orang Asia di Amerika terhadap
orang Asia lainnya (Nick dan Rachel). Ketika Nick sedang bersama Rachel yang
tidak lain adalah kekasihnya, gosip itu begitu cepat menyebar hingga beberapa
menit kemudian Ibu Nick yang berada di belahan dunia lain langsung mengetahui
kejadian itu bahkan sebelum Rachel bangkit dari tempat duduknya. Dari sini kita
tahu betapa (ehm) kentalnya budaya gosip di Asia (maaf), tapi itu yang
tergambar pada adegan ini. Dengan sinematografi yang keren, adegan gosip yang sedang
menyebar itu justru jadi terasa sangat modern karena melalui kecanggihan
teknologi saat ini, alih-alih terlihat seperti kegiatan kuno yang hanya
dilakukan oleh orang kurang kerjaan saja.
Selanjutnya yang menarik yaitu
ketika Nick, Rachela, Colin, dan Araminta berwisata kuliner di pusat kuliner
Singapura. Dari makanan-makanan yang terpampang pada film itu, menandakan
betapa Singapura saat ini adalah perpaduan budaya Indonesia, Melayu, dan China.
Selain sinematografinya yang atraktif, kuliner tersebut terasa sangat menarik.
Selain itu, anggapan bahwa makan bersama adalah cara yang mudah untuk
mengakrabkan terutama orang-orang yang baru pertama bertemu bisa terbukti di
sini. Rachel yang datang dari golongan yang ‘berbeda’ dari Araminta dan Colin
bisa langsung berbaur dengan mereka saat menikmati kuliner di tempat yang
sangat publik (bukan restoran mewah di mana seharusnya Nick, Araminta, dan
Colin biasanya berada).
Membahas film ini tidak akan ada
artinya kalau tidak membahas bagaimana kesenjangan kelas menjadi tema dan
konflik utama pada film Crazy Rich Asians. Rachel tentu mengalami beberapa
konflik baik dengan Ibu Nick yang tidak setuju dengan hubungan mereka maupun
perempuan lain yang menginginkan posisi Rachel saat ini. Konflik dengan
perempuan lain yang juga (masih) mengincar Nick menjadi salah satu adegan
dramatis yang membuat film ini tidak terasa datar. Adegan apakah itu, silahkan
ditonton sendiri, hehe. Proses usaha membuat Rachel putus dengan Nick baik yang
dilakukan oleh Ibu Nick maupun yang dilakukan oleh perempuan-perempuan lain pendamba
Nick adalah usaha yang hanya dapat dilakukan oleh kaum borjuasi, menyewa
detektif dengan harga mahal untuk menemukan ‘aib’ keluarga Rachel misalnya.
Kemewahan demi kemewahan yang
ditampilkan setiap tokoh dalam film Crazy Rich Asians seakan ingin menegaskan
bahwa posisi Rachel sangat tidak aman. Perjuangan Rachel dalam menghadapi itu
semua tentu menjadi pusat utama dalam cerita ini.
Favorit hampir semua orang yang
sudah menonton film Crazy Rich Asians adalah ketika Araminta dan Colin menikah,
saat Araminta ‘walking in the aisle’
yang sangat indah dan diiringi musik yang tepat (serta sangat romantis) membuat
penonton fokus pada adegan tersebut. Tapi, bagi saya, adegan romantis ada di
sela-sela itu semua, yaitu saat Nick sebagai pendamping pengantin pria dari
jauh mengucapkan kata ‘I Love You’ pada Rachel yang sedang duduk di kursi
bersama tamu-tamu lainnya. Rachel yang pada saat itu sedang berjuang menghadapi
kesinisan Ibu Nick dan harus duduk terpisah dari keluarga Nick menangkap gerak
bibir Nick serta membalas ucapan cinta itu dari kejauhan dengan mengucapkan ‘I
Love You Too’. Mereka lalu tersenyum bersama, Rachel merasa sangat dikuatkan
dengan tindakan kecil yang sebenarnya sangat berarti itu.
Pesta pernikahan Araminta dan Colin
yang sakral kemudian disusul dengan pesta dansa meriah yang kontras. Lalu
adegan permainan mahjong yang elegan di mana permainan itu sebenarnya adalah ‘pertarungan’
ideologi antara Ibu Nick dengan Rachel (di sini akting Ibu Nick sangat bagus!)
membuat film ini memiliki daya tarik visual. Peran Astrid sebagai perempuan kaya raya nan anggun namun diam-diam tersakiti membuat gambaran bahwa di balik homogennya sikap para anak 'Crazy Rich Asians' masih ada sosok yang 'berbeda' sekaligus membuat emosi ketika menonton film ini menjadi naik turun. Beberapa adegan bahkan lebih masuk akal dibanding dengan yang ada di novel (ini, kenapa masih membandingkan dengan novel terus terusan -_-).
Bagi sebagian orang yang menganggap
film ini lebih mirip dengan cerita ftv, mungkin karena ending yang terlalu berbalik dengan keseluruhan cerita. Nah, jika
kita mengesampingkan ending itu, maka
kita akan mendapati bagaimana budaya Asia yang terus ingin dipertahankan oleh
para generasi lama sekalipun mereka adalah orang kaya raya. Dan tentu saja,
kontestasi dengan hal-hal material untuk menentukan kisah cinta masih terjadi
sampai sekarang, di era modern ini.
No comments:
Post a Comment